Thursday, April 4, 2013

Titik

Aku duduk dalam keheningan bangku taman, memikirkan keseimbangan yang sepertinya lebih berat ke kanan. Bukan fasis. Ini bahkan sama sekali bukan tentang ideologi yang kanan kiri atau atas bawah. Ini tentang aku, kamu dan Tuhan.

5 menit yang lalu aku terbahak dalam lingkup kepalsuan. Aku sedang tidak seimbang. Sedang berpikir keras kemana aku langkahkan kaki ku berikutnya.

Orang bilang hidup itu seperti roda. Roda-roda gila yang bisa berputar secepat apa entah. Mengalahkan kecepatan suara. Meledak tiba-tiba tanpa sebelumnya bergeming untuk mengingatkan.

Ini tentang keraguan. Dihadapan gelas-gelas berserakan aku berdoa.

Aku sedang bertemu dan berdiskusi dengan kejenuhan. Menghantarkan aku pada titik, titik kedigdayaan kekuatan alam yang mengecilkan aku. Sendiri.

Karena ritme derap kaki yang sama, maka aku harus merubah ini.
 
Aku sampai pada fase ku berikutnya, fase untuk bertanggung jawab. Paling tidak untuk diriku sendiri.

Aku akan memulai ini dengan aku, kamu dan Tuhan.

Oia, aku sudah mengutus rindu lewat hujan untukmu. Sudah kau rasakan?
Aku belum tahu siapa kamu yang menjadi kita berikutnya, dan harapan kecil ini adalah kita yang terakhir. Bukan lagi yang hanya sebentar menjadi kita kemudian lama menjadi aku dan kamu.

Aku tidak ingin lagi main-main dalam "kita".

Aku percaya.
Jatuh cinta selalu datang tepat waktu, tidak pernah terlambat seperti polisi india, atau datang terlalu cepat seperti ejakulasi dini.

Aku menunggu janji ketepatan waktu untuk benar-benar jatuh. Untuk menghabiskan hari-hari kita, kemarin, hari ini, esok dan selamanya.

Dan ini saat yang tepat untuk jatuh cinta (kembali).

Bahagia

Bahagia? Seberapa kenal kamu dengan kata ini?

Aku merasa mengenalnya dengan sangat baik, dia sahabatku. Sahabat yang aku ciptakan sendiri. Guru-ku bilang "bahagia itu diciptakan, bukan menunggunya datang."

Setiap orang punya definisi bahagianya masing-masing. Ada yang bahagia kalau banyak uang, banyak pacar, banyak teman, dan banyak lainnya. Ada juga yang bahagia ketika hanya cukup dekat dengan keluarga, atau bahagia karena awalnya pura-pura bahagia.

Bahagia bukan cuma kata. Menurutku. Ada teori besar dibalik itu.

Kupikir, Malaikatpun akan kerepotan mendefinisikan ukuran kebahagiaan seseorang. Bahkan hanya kita yang bisa menjabarkan apa itu kita punya bahagia.

Kadang, bahagia bukan hanya sekedar keinginan kita terpenuhi atau kebutuhan kita tercukupi. Lebih dari itu, membuat orang lain merasa bahagia itu juga bentuk kebahagiaan. Membahagiakan orang tua, pacar, sahabat, istri atau siapapun yang kita memang ingini begitu. Setuju? Aku setuju.

Sesekali cobalah berdialog dengan Tuhan. Tentang apa bahagiamu, tentang bagaimana memudahkannya terlahir, tentang bahagia yang takkan di contek orang lain ketika selesai berdoa.

Selalu ada kesederhanaan dalam bahagia. Percayalah.

Tentukan target bahagia, rancang tahapannya, sikapi langkah, berlari, dan bahagialah.